Tahukah anda, tradisi apa yang mulanya rutin di lakukan oleh
masyarakat Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kec. Singojuruh, Kab.
Banyuwangi namun sempat mati selama kurang lebih 35 tahun dan kemudian
hidup lagi ?
Meskipun zaman kian bergulir dan terus berusaha untuk memangkas habis
budaya-budaya lama, namun budaya warisan yang sudah turun temurun di
laksanakan setiap tahun itu masih tetap bertahan dengan kesakralannya
meski sempat mati. Nama tradisi itu adalah “kebo-keboan” yang sudah
menjadi budaya dan di lakukan pada bulan Jawa Syuro.Masyarakat
Banyuwangi yang mayoritas petani menganggap ritual sakral ini sebagai
wujud syukur terhadap yang Maha Kuasa. Ritual ini menggunakan kerbau
sebagai sarana upacara. Namun, kerbau yang digunakan binatang
jadi-jadian yakni manusia berdandan mirip kerbau, lalu beraksi layaknya
kerbau di sawah.
Sejarah Kebo-Keboan
Ritual kebo-keboan digelar setahun sekali pada bulan Muharam atau
Suro (penanggalan Jawa). Bulan ini diyakini memiliki kekuatan magis.
Konon, ritual ini muncul sejak abad ke-18 M. Di Banyuwangi, kebo-keboan
dilestarikan di dua tempat yakni di Desa Alasmalang, Kecamatan
Singojuruh, dan Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi.
Munculnya ritual kebo-keboan di Alasmalang berawal terjadinya musibah
brindeng atau pagebluk ( wabah penyakit) yang berkepanjangan. Yakni
jenis penyakit yang menakutkan dan sulit di temukan obatnya, karena
bagi yang terkena pagi maka sorenya akan mati, jika malam kena paginya
akan mati begitulah seterusnya. Kala itu, seluruh warga diserang
penyakit. Hama juga menyerang tanaman. Banyak warga kelaparan dan mati
akibat penyakit misterius. Dalam kondisi genting itu, sesepuh desa yang
bernama Mbah Karti melakukan meditasi di bukit. Selama meditasi, tokoh
yang disegani ini mendapatkan wangsit. Isinya, warga disuruh menggelar
ritual “kebo-keboan” dan mengagungkan Dewi Sri atau yang dipercainya
sebagai simbol kemakmuran.
Keajaiban muncul ketika warga menggelar ritual kebo-keboan. Warga
yang sakit mendadak sembuh. Hama yang menyerang tanaman padi sirna.
Sejak itu, ritual kebo-keboan dilestarikan. Mereka takut terkena musibah
jika tidak melaksanakannya.
Waktu, Tempat, Pemimpin dan Pihak-pihak yang Telibat dalam Upacara
Upacara kebo-kebon di Dusun Krajan dilaksanakan satu kali dalam satu
tahun yang jatuh pada hari Minggu antara tanggal 1 sampai 10 Sura (tanpa
melihat hari pasaran). Dipilihnya hari minggu sebagai hari
penyelenggaraan dengan pertimbangan bahwa pada hari tersebut masyarakat
sedang tidak bekerja (libur), sehingga dapat mengikuti jalannya upacara.
Sedangkan, dipilihnya bulan Sura dengan pertimbangan bahwa Sura,
menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa, adalah bulan yang keramat.
Sebagaimana upacara pada umumnya, upacara kebo-keboan di Krajan juga
dilakukan secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui dalam upacara
ini adalah sebagai berikut:
(1) tahap selamatan di Petaunan;
(2) tahap ider bumi atau arak-arakan mengelilingi Dusun Krajan; dan
(3) tahap ritual kebo-keboan yang dilaksanakan di daerah persawahan Dusun Krajan.
Pemimpin
dalam upacara kebo-keboan ini bergantung pada kegiatan atau tahap yang
dilakukan. Pada tahap selamatan di Petaunan, yang bertindak sebagai
pemimpin upacara adalah kepala Dusun Krajan. Sedangkan, yang bertindak
sebagai pemimpin upacara saat mengadakan ritual ider bumi dan
kebo-keboan adalah seorang pawang yang dianggap sebagai orang yang ahli
dalam memanggil roh-roh para leluhur.
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan upacara adalah:
(1) para aparat Dusun Krajan;
(2) beberapa kelompok kesenian yang ada di wilayah Alasmalang;
(3) empat orang atau lebih yang nantinya akan menjadi kebo-keboan dan
(4) warga masyarakat lainnya yang membantu menyiapkan perlengkapan upacara maupun menyaksikan jalannya upacara.
Jalannya Upacara
Satu minggu menjelang waktu upacara
kebo-keboan tiba, warga masyarakat yang berada di Dusun Krajan
mengadakan kegiatan gotong royong untuk membersihkan lingkungan rumah
dan dusunnya. Selanjutnya, satu hari menjelang pelaksanaan upacara, para
ibu bersama-sama mempersiapkan sesajen yang terdiri atas: tumpeng,
peras, air kendi, kinang ayu, aneka jenang, inkung ayam dan lain
sebagainya. Selain itu, dipersiapkan pula berbagai perlengkapan upacara
seperti para bungkil, singkal, pacul, pera, pitung tawar, beras, pisang,
kelapa dan bibit tanaman padi. Seluruh
sesajen tersebut selain untuk acara selamatan, nantinya juga akan
ditempatkan di setiap perempatan jalan yang ada di Dusun Krajan.pada
malam harinya para pemuda menyiapkan berbagai macam hasil tanaman
palawija seperti pisang, tebu, ketela pohon, jagung, pala gumantung,
pala kependhem, pala kesimpar. Tanaman tersebut kemudian ditanam kembali
di sepanjang jalan Dusun Krajan. Selain itu, mereka mempersiapkan pula
bendungan yang nantinya akan digunakan untuk mengairi tanaman palawija
yang ditanam.
Pagi harinya, sekitar pukul 08.00, diadakan upacara di Petaunan yang
dihadiri oleh panitia upacara, sesepuh dusun, modin, dan beberapa warga
masyarakat Krajan. Pelaksanaan upacara di tempat ini berlangsung cukup
sederhana, yaitu hanya berupa kata sambutan dari pihak panitia upacara,
kemudian dilanjutkan dengan doa yang dipimpin oleh modin dan diakhiri
dengan makan bersama.
Selanjutnya, para peserta upacara yang terdiri dari para sesepuh
dusun, seorang pawang, perangkat dusun, dua pasang kebo-keboan (setiap
kebo-keboan berjumlah dua orang), para pembawa sesajen, pemain musik
hadrah, pemain barongan dan warga Dusun Krajan akan melakukan pawai ider
bumi mengeliling Dusun Krajan. Pawai ini dimulai di Petaunan kemudian
menuju ke bendungan air yang berada di ujung jalan Dusun Krajan.
Sesampainya di bendungan, jagatirta (petugas pengatur air) akan segera
membuka bendungan sehingga air mengalir ke sepanjang jalan dusun yang
sebelumnya telah ditanami tanaman palawija oleh para pemuda. Sementara,
para peserta upacara segera menuju ke areal persawahan milik warga Dusun
Krajan. Di persawahan inilah kebo-keboan tersebut memulai
memperlihatkan perilakunya yang mirip seperti seekor kerbau yang sedang
membajak atau berkubang di sawah. Pada saat kebo-keboan sedang
berkubang, sebagian peserta upacara segera turun ke sawah untuk menanam
benih padi.
Setelah benih tertanam, para peserta yang lain segera berebut untuk
mengambil benih padi yang baru ditanam tersebut. Benih-benih yang baru
ditanam itu dipercaya oleh warga masyarakat Dusun Krajan dapat dijadikan
sebagai penolak bala, mendatangkan keberuntungan serta membawa berkah.
Pada saat para peserta memperebutkan benih tersebut, para kebo-keboan
yang sebelumnya telah dimantrai oleh pawang sehingga menjadi trance,
akan segera mengejar para pengambil benih yang dianggap sebagai
pengganggu. Namun, para kebo-keboan itu tidak sampai mencelakai para
pengambil benih karena sang pawang selalu mengawasi setiap geraknya.
Setelah dirasa cukup, maka sang pawang akan menyadarkan kebo-keboan
dengan cara mengusapkan pitung tawar pada bagian kepalanya. Setelah itu,
mereka kembali lagi ke Petaunan.
Sebagai catatan, sebelum tahun 1965 pelaksanaan ider bumi tidak hanya
mengelilingi sepanjang jalan Dusun Krajan saja, melainkan juga ke arah
batu besar yang ada di empat penjuru angin yang diawali dengan berjalan
ke arah timur menuju Watu Lasa, kemudian ke barat menuju Watu Karang,
lalu ke selatan menuju Watu Gajah dan ke arah utara menuju Watu Naga.
Sesampainya di Petaunan, peserta upacara kembali ke rumah
masing-masing sambil membawa padi yang tadi mereka ambil di sawah untuk
dijadikan sebagai penolak bala dan juga sekaligus pembawa berkah. Malam
harinya, mereka kembali lagi ke Petaunan untuk menyaksikan pagelaran
wayang kulit dengan lakon Sri Mulih yang mengisahkan tentang Dewi Sri.
Lakon tersebut dipentaskan dengan harapan agar warga Dusun Krajan
mendapatkan hasil panen padi yang melimpah. Dan, dengan dipentaskannya
kesenian wayang kulit di Petaunan itu, maka berakhirlah seluruh rentetan
dalam upacara kebo-keboan di Dusun Krajan.
Warga menyambut ritual ini mirip perayaan hari raya. Hari pelaksanaan
upacara dihitung menggunakan kalender Jawa kuno. Biasanya kepastian itu
diputuskan para sesepuh adat. Pada hari pelaksanaan, seluruh warga
membuat tumpeng ayam.
Sesajen ini dimasak secara tradisional khas suku Using, yakni pecel ayam, daging ayam dibakar dan dicampur urap kelapa muda.
Menjelang siang hari, warga berkumpul di depan rumah masing-masing.
Beberapa orang bergerombol di pusat desa bersama para pejabat dan
undangan. Dipimpin sesepuh adat, warga berdoa menggunakan bahasa Using
kuno. Usai berdoa, warga berebut menyantap tumpeng yang diyakini mampu
memberikan berkah keselamatan.
Nilai Budaya
Upacara kebo-keboan di Dusun Krajan, Desa Alasmalang, Kabupaten
Banyuwangi, jika dicermati secara mendalam, mengandung nilai-nilai yang
pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan
sehari-hari. Nilai-nilai itu antara lain adalah: kebersamaan,
ketelitian, gotong royong, dan religius. Nilai kebersamaan tercermin
dari berkumpulnya sebagian besar anggota masyarakat dalam suatu tempat,
makan bersama dan doa bersama demi keselamatan bersama pula. Ini adalah
wujud kebersamaan dalam hidup bersama di dalam lingkungannya (dalam arti
luas). Oleh karena itu, upacara ini mengandung pula nilai kebersamaan.
Dalam hal ini, kebersamaan sebagai komunitas yang mempunyai wilayah,
adat-istiadat dan budaya yang sama.
Nilai ketelitian
tercermin dari proses upacara itu sendiri. Sebagai suatu proses,
upacara memerlukan persiapan, baik sebelum upacara, pada saat prosesi,
maupun sesudahnya. Persiapan-persiapan itu, tidak hanya menyangkut
peralatan upacara, tetapi juga tempat, waktu, pemimpin, dan peserta.
Semuanya itu harus dipersiapkan dengan baik dan seksama, sehingga
upacara dapat berjalan dengan lancar. Untuk itu, dibutuhkan ketelitian.
Nilai kegotong-royongan
tercermin dari keterlibatan berbagai pihak dalam penyelenggaraan
upacara. Mereka saling bantu demi terlaksananya upacara. Dalam hal ini
ada yang membantu menyiapkan makanan dan minuman, menjadi pemimpin
upacara, dan lain sebagainya.
Nilai religius
tercermin dalam doa bersama yang ditujukan kepada Tuhan agar mendapat
perlindungan, keselataman dan kesejahteraan dalam menjalani kehidupan.
Kesimpulan
Ritual “ kebo-keboan” merupakan kekayaan bangsa yang memang harus di
lestarikan oleh generasi penerus, siapa lagi kalau bukan kita ? namun
misteri di balik tradisi itu haruslah di kaji dan di ejawantahkan kepada
masyarakat luas, bagaimana nilai – nilai luhur yang terkandung di
dalamnya, adapun hal-hal yang memberakan masyarakat tidaklah selayaknya
di paksakan seperti masalah pendanaan upacara “kebo-keboan”, hal ini
perlu di pertimbangkan sesuai situasi dan kondisi masyarakat saat itu.
Agar budaya yang pada mulanya adalah kebanggaan dan kekayaan bangsa
tidak beralih menjadi kesulitan, kepayahan, dan paksaan bagi masyarakat.
Tetaplah bersikap bijak karena budaya meninggalkan jejak dan kita
adalah penerus jejak itu hingga akhir waktu.